Lampu Merah Kehidupan

Lampu Merah Kehidupan

Rabu 29/12/21, saat saya berangkat menuju ibu kota yang diwarnai dengan cuaca gerimis setelah malam harinya hujan lebat. Hal ini terjadi karena Desember merupakan musim penghujan atau dalam filosofi jawa Desember memiliki makna “Derese Sumber” yang berarti sumber mata air sedang baik atau memiliki air yang melimpah. 

Tujuan utama saya ke kota dalam rangka melaksanakan tugas mengambil bantuan sarpras dari pemerintah untuk dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan. Sebagai seorang pendidik tentu hal ini merupakan hal wajib yang perlu saya perjuangkan sejak awal saya melihat informasi tersebut pada sumber aslinya. 

Perjalanan saya yang menempuh waktu kurang lebih dua jam ternyata masih menyisakan waktu untuk mengunjungi saudaraku sekaligus memintanya untuk mengantarkanku pada lokasi yang akan saya tuju. Setelah beberapa saat mengobrol sambil menikmati bubur yang dihidangkan tak terasa waktu memanggilku untuk segera bergegas menuju lokasi.

Saya mengajak saudara saya untuk mengantarkanku pada lokasi yang dituju, maklumlah saya orang desa dan belum begitu mengenal medan ibu kota. Maka demi efektifitas dan efisiensi waktu saya meminta saudara saya untuk mengantarkan ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor legendaris saya.

Setelah sampai di bundaran pusat kota ternyata lampu merah memaksaku berhenti, sembari menunggu lampu berubah menjadi hijau pandanganku terusik dari sebuah pandangan yang memilukan. Saat itu aku menoleh ke samping kanan dan kiri dengan kondisi jalan yang begitu lebar beserta hiasan gedung-gedung mewah menjulang tinggi dan berbagai kendaraan mewah yang melintas, ternyata didekatku dengan jarak kurang lebih empat meter ada seorang anak perempuan kecil kurang lebih seusia anak kelas 2 SD/ sederajat dengan pakaian kusam dan kumalnya menjajakan koran.

Sebagai seorang anak desa hatiku porak-poranda, saya membayangkan jika anak-anak seusianya yang ada di desa saya biasanya pada waktu sekitar pukul 09.00 WIB tengah asyik bermain dengan temannya jika sekolah sedang libur.  Jika sekolah tidak libur pasti mereka sedang mengikuti pelajaran bersama dengan guru-gurunya. 

Sedangkan dia sudah harus berjuang sendirian mengais rupiah yang tidak seberapa, saat saya amati sekitarnya juga tidak ada orang yang lebih tua mendampinginya menjajakan korannya. Sebagai seorang ayah yang memiliki anak perempuan hatiku menangis sejadi-jadinya, membayangkan anak perempuanku di rumah yang tengah asyik bermain dengan ibu dan saudara-saudaranya. 

Lantas kemana ayahnya? kemana orang tua nya? kenapa begitu tega membiarkan ia berjuang sendirian demi sesuap nasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tuanya. Hati kecilku berbisik dan memaksaku berfikir kenapa ada pemandangan yang begitu kontras di tengah gemerlapnya rumah-rumah kaca perkotaan yang berkilauan. 

Apakah para pejabat sekitar tidak pernah tahu? atau mereka sengaja membutakan mata hatinya? sehingga membiarkan anak-anak menjadi hero untuk dirinya atau bahkan mungkin untuk keluarganya dan ironisnya lagi adalah dia seorang anak perempuan. 

Lambat laun jalan pikiranku kembali normal dan tidak terbawa arus, bahkan menyadari bahwa kenyataan dari adanya ketimpangan sosial ini adalah berkah bagi broker-broker jabatan untuk mengais dokumentasi membantu mereka saat pencalonan tiba. Kesejahteraan sosial yang digaungkan oleh pemangku jabatan nyatanya belum mampu menghapuskan anak jalanan mengais sesuap nasinya. 

Akankah hal ini didiamkan tanpa solusi? jika demikian maka hanya akan melahirkan pola pikir anak jalanan baru dan meningkatnya penjilat jabatan. Lantas apa yang harus kita lakukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *