Nikmat Yang Tergadaikan

Sebagai salah satu hasil produk “cah ndeso asli”, membuat saya selalu mengukur dan membandingkan setiap hal yang saya alami dengan hal-hal yang berkaitan atau yang saya rasakan ketika saya berada di kampung. Ada banyak hal yang saya tertawakan dan juga ada banyak hal pula yang saya “nggumuni” atau kagumi ketika saya berada di kota. Kehidupan masa kecil di kampung yang serba berbeda dengan kehidupan dewasa yang ada di kota terkadang membuat rasa rindu pada kampungku berkecamuk dalam hatiku, Wuishsok puitis wkwkwk.

Kehidupan kota yang gemerlap membuat “gedang-gedang uncitan” pisang-pisang kecil terjual sebagai harga normal yang terkadang membuatku menggelengkan kepala he…he…, gimana tidak? “gedang-gedang uncitan” yang dulu ketika saya berada di kampung hanya untuk makanan ternak disini mengandung pundi-pundi rupiah yang membuat saya menelan ludah dan lucunya saya membelinya juga wkwkwk. Sebetulnya masih banyak hal-hal lain yang terasa sangat kontras, namun tidak saya ungkap disini, nanti “kekampungan saya ketara” ha…ha…meskipun saya sadari bahwa saya sangat bangga dan bahagia sebagai anak kampung.

Sepenggal cerita “gedang uncitan” di atas tentu membuat kita berpikir, mengapa dengan jenis benda yang sama, ukuran yang sama dan dengan rasa yang sama namun memiliki harga yang berbeda? Apa yang sebenarnya dapat kita pelajari dari peristiwa tersebut? Lantas apakah peristiwa tersebut juga terjadi pada hal-hal yang lain?

Sejatinya secara tidak langsung kita telah memahami bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi adanya. Jika kasus di atas dianalisis dalam bingkai keilmuan ekonomi tentu alasan-alasan logis terkait jarak tempuh, banyak sedikitnya barang, jenis barang dan hal-hal lain adalah penyebab terjadinya perbedaan harga tersebut meskipun barang tersebut secara kualitas memiliki nilai yang sama ketika berada di tempat yang lain. Peristiwa tersebut justru mengingatkan saya pada sebuah Quotes “Carilah Tempat Dimana Kamu Dihargai Bukan Hanya Dibutuhkan, Sebab Banyak yang Datang Karena Butuh Tapi Lupa Cara Menghargai”.

Namun dari peristiwa di atas saya ingin mengambil sudut pandang yang berbeda dalam menilainya yakni dengan kacamata agama islam. Kehidupan yang kita jalani terkadang terasa sangat membosankan, menyebalkan, membagongkan dan sebagainya. Kita sering “meri, milek” atau iri terhadap kehidupan yang dialami oleh orang lain. Kita selalu berpikir hidup orang lain lebih asyik, lebih enak dan lebih bahagia daripada hidup kita, padahal orang tersebut juga iri dengan takdir kehidupan orang lain. Sebenarnya ada banyak hal yang kita anggap receh, biasa saja dan tidak berguna ternyata memiliki harga yang luar biasa bagi kehidupan orang lain.

Pertanyaan besarnya ialah mengapa kita begitu susah menyadari keberadaan hal-hal yang kita anggap receh tersebut sebagai manifestasi nikmat yang begitu agung? Mengapa kita merasa hal tersebut berguna setelah hal tersebut telah tiada? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut saya akan mengutip sebuah ayat yang Allah abadikan di dalam Al-Qur’anul Karim Surat An-Nahl ayat 18 sebagai berikut:

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Terjemah Kemenag 2019

18.  Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Berdasarkan ayat di atas sebetulnya kita sebagai manusia, baik yang beriman maupun yang tidak beriman tetap saja diberikan fasilitas kenikmatan oleh Allah dengan nikmat yang sangat banyak sampai kita tidak dapat menghitungnya. Melekatnya nikmat-nikmat tersebut yang senantiasa membersamai kita sedari kecil ternyata membuat kita terlena sehingga kita lalai mensyukurinya. Alasan lain yang membuat kita kehilangan pandangan terhadap nikmat Allah ialah karena kita selalu merasa kurang dan tidak memiliki sifat qonaah, padahal Rasulullah SAW bersabda:

حدثنا أبو عاصم، عن ابن جريج، عن عَطَاءٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (‌لَوْ ‌كَانَ ‌لِابْنِ ‌آدَمَ ‌وَادِيَانِ ‌مِنْ ‌مَالٍ ‌لَابْتَغَى ‌ثَالِثًا، ‌وَلَا ‌يَمْلَأُ ‌جَوْفَ ‌ابْنِ ‌آدَمَ ‌إِلَّا ‌التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى من تاب).

Rasulullah saw bersabda: Andai bani Adam memiliki dua lembah yang penuh dengan harta, maka dia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut bani Adam kecuali tanah (yaitu kematian)” (HR. Al-Bukhari)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ. حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ المقري عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ. حَدَّثَنِي شُرَحْبِيلُ (وَهُوَ ابْنُ شَرِيكٍ) عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ” ‌قَدْ ‌أَفْلَحَ ‌مَنْ ‌أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كفافا، وقنعه الله بما آتاه

Rasulullah SAW bersabda: Sungguh beruntung orang yang sudah berislam, lalu Allah beri rezeki yang secukupnya, dan Allah jadikan hatinya qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang dikaruniakan kepadanya” (HR. Muslim).

Nikmat seharusnya berarti bahagia, jika kita telah diberi nikmat oleh Allah dengan hal-hal yang sebetulnya luar biasa dalam kehidupan kita namun kita tetap tidak bahagia, maka sudah sepatutnya kita mengoreksi diri kita, apakah standar bahagia kita adalah standar yang tidak selayaknya? “Jangan gadaikan kenikmatan/kebahagiaan yang seharusnya kita rasakan dengan angan-angan yang tidak ada batasnya”, sebab hakikatnya rasa bahagia berasal dari hati kita yang ikhlas menerima dan menyadari bahwa tanpa karunia Allah maka hakikatnya kita hanya seonggok daging yang diberi nyawa, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat Allah SWT, Amiin.

Sumber Gambar: https://www.pustamun.com/

Pekanbaru, 16 Juli 2022

Nur Kholis, M.Pd.